Friday, October 17, 2008

Menepis Belenggu “TIDAK MUNGKIN


Banyak
hal dalam kehidupan kita yang penuh misteri. Kebanyakan dari kita pun
masih memeluk erat mitos ”tidak mungkin” akan suatu hal yang
ingin kita raih. Dalam banyak kasus, kita kadang merasa tidak berdaya
dan seolah terpenjara dalam belenggu diri yang membatasi diri kita
saat ini dengan diri ideal yang kita inginkan.
Percaya
kepada mitos ”tidak mungkin” mencerminkan ketidakberdayaan diri
melihat sesuatu yang ingin kita dapatkan banyak sekali hambatannya.
Dengan kata lain, kita tidak memiliki rasa percaya diri yang kokoh.
Melihat tantangan, hambatan, rintangan dan resiko gagal di depan mata
membuat kita miris dan mengurungkan niat untuk bergerak maju.
Hasilnya, kita hanya jalan di tempat atau tertinggal karena
rival-rival atau pesaing kita telah melesat jauh.
Mitos
”tidak mungkin” misalnya terjadi pada kasus yang menyatakan:
~
”Ah, saya hanya anak orang miskin, mana mungkin bisa sukses…!”
~
”Saya hanya lulusan dalam negeri, mana mungkin bisa menjadi top
manager di perusahan ini.”
~ ”Suara saya fals, mana mungkin
bisa jadi penyanyi terkenal.”
~ ”Saya hanya seorang pembantu
rumah tangga, mana mungkin bisa menjadi penulis terkenal!”
~
”Muka saya jelek, mana mungkin bisa jadi artis terkenal… Kenapa
sih Tuhan menciptakan saya dengan muka seperti ini?!”
~ ”Saya
hanya orang cacat yang malang, mana mungkin bisa menjadi orang yang
berguna!”
~ ”Saya hanya …….., mana mungkin bisa …………!”

Demikian
seterusnya. Banyak sekali alasan yang kita buat-buat dengan dalih
”tidak mungkin” untuk membenarkan bahwa keadaan kita saat ini
adalah harga mati yang tidak bisa ditawar lagi. Atau dengan kata
lain, kita hanya bisa pasrah menghadapi keadaan yang mungkin belum
sesuai dengan kondisi ideal yang kita harapkan. Kita akhirnya percaya
bahwa kita tidak bisa merubah keadaan menjadi lebih baik dengan
talenta yang kita miliki. Kita bersembunyi dengan dalih ”tidak
mungkin” untuk menutupi kemalasan kita dalam berikhtiar dan keluar
dari zona kenyamanan hidup kita. Kita takut tampil sedikit lebih beda
dari kebanyakan orang di sekitar kita.
Banyak
contoh yang telah membuktikan bahwa mitos ”tidak mungkin” adalah
ciptaan dari pikiran kita sendiri. Mereka mampu membuktikan bahwa
ketidakmungkinan itu menjadi mungkin dengan kerja keras yang cerdas
dan usaha yang sungguh-sungguh. Sebagai contoh misalnya:
Drs.
Waidi, MBA.Ed dulunya juga berasal dari keluarga petani yang sangat
sederhana, namun sekarang bisa sukses menjadi seorang dosen, trainer,
penulis dan entrepreneur. Pernah ketika muda dulu—saat masih bukan
siapa-siapa—menceritakan cita-citanya pada rekannya, beliau hanya
mendapat cemoohan. Kenyataannya, rekan yang mencibirnya sekarang
masih menjadi itu-itu saja, namun Pak Waidi telah melesat
mengaktualisasikan dirinya yang luar biasa.
Bang
Iwan Fals, dari namanya kita tahu ada suatu masalah dari suaranya,
namun kenyataannya beliau bisa jadi penyanyi dan pemusik yang sulit
ditemukan tandingannya.
Eni
Kusuma, dulunya dikenal dengan profesinya yang seorang pembantu rumah
tangga, namun buktinya beliau bisa membuktikan bisa menjadi penulis
terkenal dan bahkan bisa membagikan semangatnya kepada orang banyak
melalui tulisan dan workshop yang ia bawakan.

Tukul
mukanya seperti itu, tidak ada yang mengatakan dia ganteng. Buktinya,
beliau bisa jadi seorang entertainer papan atas negeri ini.
Hirotada
Ototake dari Jepang, tidak punya tangan dan kaki. Buktinya bisa
menginspirasi jutaan orang lewat kisah hidup dan perjuangannnya yang
ia tulis dalam bukunya yang terkenal, ”No One’s Perfect”.
Dan
masih banyak lagi kisah orang-orang luar biasa, yang mungkin jika
keterbatasan dirinya ada pada kita, kemungkinan besar itu akan
menjadi dalih kuat bagi kita untuk membenarkan ketidakberdayaan kita.
Keluarbiasaan diri kita terkubur karena menganggap sesuatu di luar
keadaan kita yang sekarang adalah ”tidak mungkin”.
Di
samping mensyukuri keadaan dan nikmat hidup yang ada pada diri kita
sekarang, jika masih memungkinkan bagi kita untuk meningkatkan
potensi diri, bukankah itu tidak ada salahnya. Bahkan sebuah
keharusan bagi kita untuk terus meningkatkan kualitas diri dan
mengasah talenta agar kita bisa menjadi manusia yang lebih
bermanfaat. Semakin bermanfaat diri kita bagi orang lain, semakin
bermakna pula hidup kita. Sebagaimana hadits Nabi yang menyatakan,
”Sebaik-baik manusia adalah yang paling banyak manfaatnya bagi
manusia lain.”

Dan
yang tidak boleh dilupakan, ketika kita sudah sampai di puncak
prestasi (misalnya punya perusahaan sendiri, kaya raya, disanjung
banyak orang, atau berada di puncak karier), maka kita tidak boleh
sombong, merasa paling hebat, paling pandai, dan perasaan paling
lainnya. Kita juga tidak boleh meremehkan orang lain, menganggap yang
lain tidak ada apa-apanya, hina dan tidak mungkin bisa sukses seperti
kita. Jika kesombongan telah merasuk dalam dada, mudah saja bagi
Alloh SWT untuk mengembalikan kita pada keadaan semula. Jika Alloh
SWT sudah berkehendak maka tidak ada lagi yang ”tidak mungkin”.
Semoga
bermanfaat.