Monday, October 20, 2008
kenangan kepada seorang demonstran - SOE HOK GIE
Enam belas Desember 30 tahun lalu, Soe Hok Gie, tokoh
mahasiswa dan pemuda, meninggal dunia di puncak G.
Semeru, bersama Idhan Dhanvantari Lubis. Sosok dan
sikapnya sebagai pemikir, penulis, juga aktivis yang
berani, coba ditampilkan Rudy Badil, yang mewakili
rekan lainnya, Aristides (Tides) Katoppo, Wiwiek A.
Wiyana, A. Rachman (Maman), Herman O. Lantang dan
almarhum Freddy Lasut.
"Siap-siap kalau mau ikut naik lagi ke Gunung Semeru.
Kasih kabar secepatnya, sebab harus ada persiapan di
musim penghujan Desember, juga pertengahan Desember
itu bulan puasa Ramadhan," kata Herman O. Lantang,
mantan pimpinan pendakian Musibah Semeru 1969, yang
masih amat bugar di umurnya yang sudah lewat 57 tahun.
Terkejut dan tersentuh juga saya saat mendengar ajakan
Herman itu. Dia merencanakan membentuk tim kecil untuk
mendaki puncak Semeru lagi Desember ini, sambil
memperingati 30 tahun meninggalnya dua sobat lama
kami, Soe Hok Gie dan Idhan Lubis. "Kita juga akan
berdoa, sekalian mengenang Freddy Lasut yang meninggal
beberapa bulan lalu," lanjutnya.
Soe meninggal dunia saat baru berumur 27 tahun kurang
sehari. Idhan malah baru 20 tahun. "Tanpa terasa Soe
sudah tiga dasawarsa meninggalkan kita sejak Orde Baru
... perkembangan yang terjadi di Tanah Air dalam dua
tahun terakhir ini, khususnya gerakan mahasiswa yang
telah menggulingkan pemerintahan Orde Baru,
mengingatkan kita kembali pada situasi tahun 1960-an,
ketika Soe masih menjadi aktivis mahasiswa kala itu,"
begitu bunyi naskah buku kecil acara "Mengenang
Seorang Demonstran", (berisikan antara lain diskusi
panel soal bangsa dan negara Indonesia ini), yang
bakal diselenggarakan Iluni FSUI dan Alumni Mapala UI.
Kasih batu dan cemara
Dari beberapa catatan kecil serta dokumentasi yang
ada, termasuk buku harian Soe yang sudah diterbitkan,
Catatan Seorang Demonstran (CSD) (LP3ES, 1983), di
benak saya mulai tergali suasana sore hari bergerimis
hujan dan kabut tebal, tanggal 16 Desember 1969 di G.
Semeru.
Seusai berdoa dan menyaksikan letupan Kawah
Jonggringseloko di Puncak Mahameru (puncaknya G.
Semeru) serta semburan uap hitam yang mengembus
membentuk tiang awan, bersama Maman saya terseok-seok
gontai menuruni dataran terbuka penuh pasir bebatuan.
Kami menutup hidung, mencegah bau belerang yang makin
menusuk hidung dan paru-paru.
Di depan kelihatan Soe sedang termenung dengan gaya
khasnya, duduk dengan lutut kaki terlipat ke dada dan
tangan menopang dagu, di tubir kecil sungai kering.
Tides dan Wiwiek turun duluan. Sempat pula kami
berpapasan dengan Herman dan Idhan. Kelihatannya kedua
teman itu akan menjadi yang paling akhir mendaki ke
Mahameru.
Dengan tertawa kecil, Soe menitipkan batu dan daun
cemara. Katanya, "Simpan dan berikan kepada kepada
'kawan-kawan' batu berasal dari tanah tertinggi di
Jawa. Juga hadiahkan daun cemara dari puncak gunung
tertinggi di Jawa ini pada cewek-cewek FSUI." Begitu
kira-kira kata-kata terakhirnya, sebelum bersama Maman
saya turun ke perkemahan darurat dekat batas hutan
pinus atau situs recopodo (arca purbakala kecil
sekitar 400-an meter di bawah Puncak Mahameru).
Di perkemahan darurat yang cuma beratapkan dua lembar
ponco (jas hujan tentara), bersama Tides, Wiwiek dan
Maman, kami menunggu datangnya Herman, Freddy, Soe,
dan Idhan. Hari makin sore, hujan mulai tipis dan
lamat-lamat kelihatan beberapa puncak gunung lainnya.
Namun secara berkala, letupan di Jonggringseloko tetap
terdengar jelas.
Menjelang senja, tiba-tiba batu kecil berguguran.
Freddy muncul sambil memerosotkan tubuhnya yang
jangkung. "Soe dan Idhan kecelakaan!" katanya. Tak
jelas apakah waktu itu Freddy bilang soal terkena uap
racun, atau patah tulang. Mulai panik, kami berjalan
tertatih-tatih ke arah puncak sambil meneriakkan nama
Herman, Soe, dan Idhan berkali-kali.
Beberapa saat kemudian, Herman datang sambil
mengempaskan diri ke tenda darurat. Dia melapor kepada
Tides, kalau Soe dan Idhan sudah meninggal! Kami semua
bingung, tak tahu harus berbuat apa, kecuali berharap
semoga laporan Herman itu ngaco. Kami berharap semoga
Soe dan Idhan cuma pingsan, besok pagi siuman lagi
untuk berkumpul dan tertawa-tawa lagi, sambil
mengisahkan pengalaman masing-masing.
Tides sebagai anggota tertua, segera mengatur rencana
penyelamatan. Menjelang maghrib, Tides bersama Wiwiek
segera turun gunung, menuju perkemahan pusat di tepian
(danau) Ranu Pane, setelah membekali diri dengan dua
bungkus mi kering, dua kerat coklat, sepotong kue
kacang hijau, dan satu wadah air minum. Tides meminta
kami menjaga kesehatan Maman yang masih shock, karena
tergelincir dan jatuh berguling ke jurang kecil.
"Cek lagi keadaan Soe dan Idhan yang sebenarnya,"
begitu ucap Tides sambil pamit di sore hari yang mulai
gelap. Selanjutnya, kami berempat tidur sekenanya,
sambil menahan rembesan udara berhawa dingin, serta
tamparan angin yang nyaris membekukan sendi tulang.
Baru keesokan paginya, 17 Desember 1969, kami yakin
kalau Soe dan Idhan sungguh sudah tiada, di tanah
tertinggi di Pulau Jawa. Kami jumpai jasad kedua kawan
kami sudah kaku. Semalam suntuk mereka lelap berkasur
pasir dan batu kecil G. Semeru. Badannya yang dingin,
sudah semalaman rebah berselimut kabut malam dan
halimun pagi. Mata Soe dan Idhan terkatup kencang
serapat katupan bibir birunya. Kami semua diam dan
sedih.
Mengapa naik gunung
Sejak dari Jakarta Soe sudah merencanakan akan
memperingati hari ultahnya yang ke-27 di Puncak
Mahameru. Malam sebelumnya, tanggal 15 Desember, dalam
tenda sempit di tepi hutan Cemoro Kandang, Soe yang
amat menguasai lirik dan falsafah lagu-lagu tertentu,
meminta kami menyanyikan lagu spiritual negro, Nobody
Knows, sampai berulang-ulang. Padahal irama lagu ini
monoton sampai sudah membosankan kuping dan
tenggorokan.
Idhan yang pendiam, cuma duduk tertawa-tawa, sambil
mengaduk-aduk rebusan mi hangat campur telur dan
kornet kalengan. Malam dingin dan hujan itu, kami
bertujuh banyak bercerita, termasuk mendengarkan
rencana Soe yang mau berultah di puncak gunung.
"Pokoknya gue akan berulang tahun di atas," katanya
sambil mesam-mesem. "Nyanyi lagi dong. Lagu Donna
Donna-nya Joan Baez itu bagus sekali."
Pagi hari nahas itu, sebelum berkemas untuk persiapan
pendakian ke puncak, kami sarapan berat. Soe yang
biasanya cuma bercelana pendek, kini memakai celana
panjang dengan sepatu bot baru. Bahkan dia mengenakan
kemeja kaus warna kuning dengan simbol UI di kantung.
"Keren enggak?" Tanyanya.
Rombongan pun berjalan mendaki, menuju Puncak Mahameru
dari dataran di kaki G. Bajangan. Soe sebagaimana
biasanya, selalu memanggul ransel besar dan berat,
berjalan gesit sambil banyak cerita dan komentar. Ia
mengisahkan bahwa di sekitar daerah itu pasti masih
banyak harimau karena dia menemukan jejak kakinya. Dia
juga menyebut kalau Cemoro Kandang berlumpur arang
gara-gara kebakaran hutan pinus tahunan, sebagai
pertanda seleksi alam dan proses regenerasi tanaman
hutan.
Dosen sejarah ini terus nyerocos kepada mahasiswanya
(saya), asal muasal nama recopodo alias arca kembar,
serta mitologi Puncak Mahameru yang berkaitan dengan
nasib Pandawa Lima dalam pewayangan Jawa. Namun sang
mahasiswa juga membayangkan dengan geli, betapa
kagetnya wakil DPR-RI saat itu ketika menerima
bingkisan dari kelompok Soe berisi gincu dan cermin
sebagai perlambang fungsi anggota DPR yang banci.
Sayang, cuma segitu ingatan saya tentang Soe pada
jam-jam terakhirnya.
Yang masih tetap terngiang justru rayuan dan
"falsafahnya", kala mengajak seseorang mendaki gunung.
"Ngapain lama-lama tinggal di Jakarta. Mendingan naik
gunung. Di gunung kita akan menguji diri dengan hidup
sulit, jauh dari fasilitas enak-enak. Biasanya akan
ketahuan, seseorang itu egois atau tidak. Juga dengan
olahraga mendaki gunung, kita akan dekat dengan rakyat
di pedalaman. Jadi selain fisik sehat, pertumbuhan
jiwa juga sehat. Makanya yuk kita naik gunung. Ayo ke
Semeru, sekali-kali menjadi orang tertinggi di P.
Jawa. Masa cuma Soeharto saja orang tertinggi di P.
Jawa ini," kira-kira begitu katanya, sambil
menyinggung nama mantan Presiden Soeharto, nun sekitar
30 tahun lalu.
Memang pendakian ke Semeru ini merupakan proyek
kebanggaan Mapala FSUI 1969. Soe dengan keandalannya
melobi kiri-kanan, mampu mengumpulkan dana untuk
subsidi penuh beberapa rekan yang mahasiswa bokek
sejati.
Singkat cerita, musibah sudah terjadi. Soe mungkin
tidak membayangkan betapa kematiannya bersama Idhan
Lubis bikin repot setengah mati banyak orang. Kami
yang ditinggal dalam suasana tak menentu, selama
sembilan hari benar-benar hidup tidak kejuntrungan.
Selain puasa sampai tiga hari karena kehabisan
makanan, kami makin sedih saat menerima surat dari
Tides via kurir, menanyakan keadaan Soe dan Idhan.
Herman, kami sudah sampai di Gubuk Klakah hari Kamis
pagi, sesudah jalan sepanjang malam (sekitar 20 jam).
Pak Lurah menyanggupi tenaga bantuan 10 orang dan
bekal. Mohon kabar bagaimana Soe, Idhan, dan Maman
dll. secepatnya mendahului rombongan ... Tides dan
Wiwik 18-12-69.
Saya pun terpilih menjadi kurir, mendahului rombongan
sambil membawa surat untuk Tides. Isinya apalagi kalau
bukan minta bantuan tenaga dan bahan makanan. Herman
pun menulis surat: Saya tunggu di Cemorokandang dan
bermaksud menunjukkan "site" tempat jenazah Soe dan
Idhan ... kirimkan: gula/gula jawa, nasi, lauk,
permen, pakaian hangat ... sebanyak mungkin!
Akhirnya, semua bantuan tiba. Seluruh anggota
rombongan baru berkumpul lagi pada tanggal 22 Desember
di Malang. Kurus dan kelelahan. Maman terpaksa dirawat
khusus beberapa hari di RS Claket. Sedangkan Soe dan
Idhan, terbaring kesepian di dalam peti jenazah
masing-masing.
Untuk terakhir kali, kami tengok Soe dan Idhan. Soe
yang mati muda, terbujur kaku dengan kemeja tangan
panjang putih lengkap dengan dasi hitam. Jenis barang
yang tidak mungkin dipakai semasa hidupnya.
Monyet tua yang dikurung
Kalau diingat-ingat, selama beberapa minggu sebelum
keberangkatan dengan kereta api ke Jatim, Soe memang
suka berkata aneh-aneh. Beberapa kali dia mengisahkan
kegundahannya tentang seorang kawan yang mati muda
gara-gara ledakan petasan. Ternyata dalam buku
hariannya di CSD, Hok Gie menulis: "... Saya juga
punya perasaan untuk selalu ingat pada kematian. Saya
ingin ngobrol-ngobrol pamit sebelum ke Semeru ...."
Soe yang banyak membaca dan sering diejek dengan
julukan "Cina Kecil", memanfaatkan kebeningan
ingatannya untuk menyitir kata-kata "sakti" filsuf
asing. Antara lain, tanggal 22 Januari 1962, ia
menulis: "Seorang filsuf Yunani pernah menulis ...
nasib terbaik adalah tidak dilahirkan, yang kedua
dilahirkan tapi mati muda, dan yang tersial adalah
umur tua. Rasa-rasanya memang begitu. Bahagialah
mereka yang mati muda."
Soe yang penyayang binatang (dia memelihara beberapa
ekor anjing, banyak ikan hias dan seekor monyet tua
jompo), sebelum musibah Semeru itu sempat berujar:
"Kehidupan sekarang benar-benar membosankan saya. Saya
merasa seperti monyet tua yang dikurung di kebun
binatang dan tidak punya kerja lagi. Saya ingin
merasakan kehidupan kasar dan keras ... diusap oleh
angin dingin seperti pisau, atau berjalan memotong
hutan dan mandi di sungai kecil ... orang-orang
seperti kita ini tidak pantas mati di tempat tidur."
Arief Budiman, sang kakak yang menjemput jenazah Soe
di Gubuk Klakah, juga merasakan sikap aneh adiknya.
Sebelum dia meninggal pada bulan Desember 1969, ada
satu hal yang pernah dia bicarakan dengan saya. Dia
berkata, "Akhir-akhir ini saya selalu berpikir, apa
gunanya semua yang saya lakukan ini. Saya menulis,
melakukan kritik kepada banyak orang ... makin lama
makin banyak musuh saya dan makin sedikit orang yang
mengerti saya. Kritik-kritik saya tidak mengubah
keadaan. Jadi, apa sebenarnya yang saya lakukan ...
Kadang-kadang saya merasa sungguh kesepian." (CSD)
Arief sendiri mengungkapkan, ibu mereka sering gelisah
dan berkata: "Gie, untuk apa semuanya ini. Kamu hanya
mencari musuh saja, tidak mendapat uang." Terhadap
Ibu, dia cuma tersenyum dan berkata: "Ah, Mama tidak
mengerti".
Arief pun menulis kenangannya lagi: ... di kamar
belakang, ada sebuah meja panjang. Penerangan listrik
suram karena voltase yang selalu naik turun kalau
malam hari. Di sana juga banyak nyamuk. Ketika
orang-orang lain sudah tidur, sering kali masih
terdengar suara mesin tik ... dari kamar yang suram
dan banyak nyamuk itu, sendirian, sedang mengetik
membuat karangan ... saya terbangun dari lamunan ...
saya berdiri di samping peti matinya. Di dalam hati
saya berbisik, "Gie kamu tidak sendirian". Saya tak
tahu apakah Hok Gie mendengar atau tidak apa yag saya
katakan itu.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment